Aku, seorang anak yang menghabiskan masa kecilnya di salah satu desa di pulau Bali. Senang sekali jika mengingat semua itu. Terkadang terpikirkan, apakah anak-anak jaman sekarang bisa melakukan permainan kami(aku dan teman-teman) dahulu. Semuanya sudah berbeda, mulai dari makanan, tontonan, permainan, dan semuanya. Namun, aku memiliki sebuah cita-cita untuk anakku kelak. Aku ingin sekali mengajarkan semua hal-hal yang pernah aku alami waktu aku kecil, semua hal yang betul-betul adalah dunia anak-anak.
Suatu hari di musim kemarau, siang itu suasana begitu panas. Aku adalah anak paling kecil di keluarga kami, jadi ibu menghabiskan sebagian besar waktunya bersamaku. Setiap pagi aku dibangunkan oleh ibu, dengan suara khasnya. Dan akupun tertawa sambil meraih tangan ibuku untuk digendong. Beberapa saat setelah itu, aku dengan setianya menemani ibu memasak di dapur. Mungkin dapur adalah salah satu tempat yang paling aku sukai, meski ibu selalu berteriak dalam bahasa Bali “depin sayang, panes! Depin paek-paek api”. Akupun akan menjauh dari perapian dan duduk dengan manis memandangi ibu yang sedang memasak sambil menyeruput teh hangatku. Teh, mungkin itulah minuman kegemaranku setelah air putih. Teh memberikan nuansa baru dalam dunia pencernaanku. Aromanya begitu melegakan hidungku yang selalu haus akan aroma segar.
Siangpun tiba dan aku mulai bermain di daerah kawasanku, yaitu di “gelebeg” alias lumbung padi. Kami memiliki lumbung yang sangat besar, cukup untuk menampung padi yang cukup banyak. Aku memiliki tetangga, dimana dia masih ada hubungan darah dengan keluargaku, namanya “Mbok Ratni”. Keluarga dia dan keluargaku memiliki pura keluarga yang sama. Mbok Ratni sudah seperti kakak kandungku, sampai-sampai aku menangis tersedu-sedu ketika dia pergi untuk bekerja di kota tetangga.
Di “gelebeg”, aku memiliki sebuah ayunan yang ibuku buat khusus atas permintaanku, yaitu ayunan dari kain gendonganku. Ayunan itu benar-benar tempat paling nyaman. Sering aku nyaris tertidur di ayunan itu, dan nenek tercinta selalu membangunkanku dan memapahku ke tempat tidur yang sesungguhnya. Memang aku gampang sekali tidur, tanpa terlalu memikirkan tempat, entah itu di ayunan, di sofa, di meja belajar, di meja makan, di depan mesin jahit, di bus, atau tempat lainnya, sejauh aku merasa nyaman. Mbok Ratni ingin sekali memiliki ayunan yang sama seperti punyaku. Sebetulnya kita bisa saja berbagi, namun waktu itu Mbok Ratni terlalu besar untuk ayunanku. Tanpa sepengetahuan ibuku, Mbok Ratni pulang ke rumahnya dan mengambil kain batik ibunya yang masih baru. Kemudian dia membuat ayunan di “gelebeg”-ku, tepatnya di sebelah ayunanku. Kamipun bermain bersama, tertawa bersama, bermain boneka bersama. Aku sangat bahagia, sampai-sampai aku melupakan jam tidur siang. Ketika sore tiba, ibupun memanggilku untuk mandi dan dilanjutkan dengan makan malam. Mbok Ratni tiba-tiba kaget, dia teringat beberapa saat lagi ibunya akan kembali dari kebun. Dia takut karena dia menggunakan kain ibunya tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Dia dengan terburu-buru serta dilingkupi perasaan cemas, cemas takut dimarahi oleh sang ibu, membuka ayunannya dari “gelebeg”-ku. Namun sayang, dia ternyata menggunakan simpul mati, yang tentunya sangat sulit untuk dibuka. Dia terus berusaha dan berusaha, namun tidak berhasil membuka simpul tersebut. Dia tidak minta tolong siapa-siapa, dan kebetulan ibuku sibuk sekali membereskan tugasnya di dapur. Dan karena aku masih kecil, aku tidak sanggup membantu dia. Kemudian, Mbok Ratni punya ide “ngoyong malu dini Tu, mbok mulih malu”, dia bicara padaku dalam bahasa Bali. Beberapa saat kemudian dia datang sambil membawa pisau. Akupun kaget dan bertanya “Mbok, tiuk anggon gena?”. “Anggon ngodot ayunanne”, diapun menjawab. “Ijep wa-ne sing ngopak?”, akupun berseru. “Hehehe, depin orahange nah. Ijep yen wa-ne metakon, orahang kambenne amah bikul”, dia tersenyum sambil memotong ayunan tersebut dengan pisau di tangannya. Aku terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa.
Setelah selesai proses mutilasi ayunan itu, ibuku keluar rumah dan berseru “Geg, sube sanja, mai manjus malu”. Ditengah-tengah suara dia, tiba-tiba dia berhenti dan berbisik “Luh Ratni, kekujang kamben memene Luh? Ijep ngopak memene”. “Menengah, busan sing je nyidaang ngembus ayunanne”, Mbok Ratni-pun menjawab dengan sedikit muka bersalah. Ibuku hanya diam karena dia tahu bagaimana kondisi jika ibunya Mbok Ratni sudah naik pitam, serammmmmm....
Saat yang ditunggu-tunggupun tiba, yaitu ibunya Mbok Ratni pulang dari kebun. Seperti rencana sebelumnya, tidak ada yang mengungkit-ungkit masalah mengenai ayunan dan kain batik. Setelah seharian bekerja di kebun, dia tentunya kelelahan dan beristirahat sejenak di “amben”-nya. Setelah selesai memasak dan mandi, dia sering main ke rumahku. Ibunya Mbok Ratni sering memberiku gula jawa(bali) yang belum jadi, tidak bisa di cetak dan lengket sekali. Aku sangat menikmati gula itu, meski setelah itu gigiku sering terasa ngilu, sehingga aku harus gosok gigi setelah makan gula ini. Sore itu, mungkin perasaan seorang ibu membawa dia untuk mengecek kondisi pakaian yang dia miliki. Diapun kaget karena menemukan kondisi kain batik-nya yang terluka parah, maksudku sobek-sobek. Dia bertanya kepada Mbok Ratni, dan seperti rencana sebelumnya, diapun mengatakan kalau kain batik itu mungkin saja digigit tikus. Ibunya sedikit percaya, sebagian besar curiga, dan sedikit lagi tidak percaya. Karena ibunya sedikit marah terhadap si “tikus”, dan dia bertanya ke ibuku, alhasil semua rencanapun terbongkar. Ibunya Mbok Ratni mengetahui kalau kain batik-nya dijadikan ayunan dan dipotong dengan pisau dapur.
Mbok Ratni adalah anak paling kecil di keluarganya dan sangat disayang tentunya. Sangat beruntung dikala itu ibunya dalam kondisi yang hmmm hmmm, bisa dikatakan sedang berhati baik, sehingga dia tidak memarahi Mbok Ratni sungguh-sungguh. Mbok Ratni-pun berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Hari itu adalah hari yang sangat seru dan selalu teringat sampai saat ini juga. Masa-masa yang sangat lucu dan menyenangkan. Sekarang aku sangat jarang bertemu Mbok Ratni, mengingat aku sudah tinggal jauh dari rumah dan Mbok Ratni sudah menikah dengan seorang pria yang sangat baik. Dia sangat beruntung aku pikir, dan aku selalu berdoa untuk kebahagiannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment