“Permisi dik…” seorang bapak tua mendekatiku. Aku tersenyum sambil menyahut “O ya Pak, silakan”.
Hari itu adalah hari dimana aku belajar sesuatu dari seseorang yg sangat aku hormati, seseorang yang akan selalu kukenang kapanpun dan dimanapun.
Hari itu adalah hari dimana hujan deras menerjang dan mengguyur seluruh kota dan orang2 yg beraktivitas di dalamnya.
Hari itu adalah hari dimana aku bertemu orang misterius yg ingin berkenalan ketika aku nyasar dalam perjalanan menuju terminal bis. Waspada waspada lah!!! – pada stranger.
Tepatnya pada saat bulan puasa thn 2005, berlokasi di terminal bis Safari Darma Raya – Kebayoran Lama, waktu itu aku pulang kampung karena ada cuti bersama Idul Fitri. Seperti biasa aku traveling sendirian, nyari bis sendiri, nyasarnya juga sendiri J . Senang sekali ketika di perjalanan bertemu orang2 yg senasib, lumayan sekali utk menambah pengetahuan.
Bapak yang duduk di sebelahku – di ruang tunggu bis – bercerita mengenai keadaan kota Jakarta yg sudah beberapa hari diguyur hujan deras, kemudian ceritapun merambah sampai ke kota Surabaya dan kota2 lainnya sepanjang pulau Jawa. Aku sangat senang mendengarkan orang bercerita, apalagi orang2 tua – kakek atau nenek – karena mereka memiliki pengalaman hidup yg sangat berharga buatku, entah pengalaman baik atau buruk. Pembicaraanpun berlangsung kurang lebih selama 1 jam (gak kerasa!) dan aku sangat senang ngobrol dengan bapak yang satu ini.
Tiba2 dia nanya mengenai kartu nama “adik punya kartu nama?”. “Maaf Pak, saya belum punya. Karena saya baru mulai kerja, masih masa percobaan 3 bulan pertama” balasku. “Kalau begitu ini kartu nama saya” sambil tangannya menyodorkan sebuah kertas kecil ke aku. “Wah.. terima kasih banyak ya Pak”aku tersenyum sambil membaca nama yg tertera di kartu kecil itu.
Satu kalimat, dua kalimat, tiga kalimat terlintas di benakku dan akupun mulai menatap dia dan bertanya “Anda orang Karate ya?? Sihang ya…” aku langsung cium tangan dia, aku terharu banget. Dia tersenyum sambil menatapku “saya gak kelihatan kan seperti seorang Karateka?”. “Gak Sihang, gak gak” aku terpukau2 sendiri. Dia bercerita banyak mengenai pengalaman dia mulai dari jaman penjajahan Jepang yg membuat dia harus pergi ke negeri matahari terbit itu, belajar di sana dan berlatih Karate di sana dan kemudian membawa Karate utk pertama kalinya ke Indonesia. Dia ngasi nasihat utk selalu rendah hati dan ngasi tahu apa inti dari ilmu beladiri itu. Aku terharu sekali ampe air mataku mau jatuh. Aku sangat bersyukur, sebelum Beliau meninggal, aku diberi kesempatan utk bertemu dia, Sihang Baud.
Waktu itu aku janji akan mengunjungi Beliau dan berlatih di sana. Namun, seperti alam sudah mengatur semuanya, setiap kali aku lewat wartel, aku gak ingat utk nelp dia. Teringatnya malah sebelum tidur. Begitu seterusnya, sampai suatu ketika, sepulang latihan di Tangerang, aku menelpon ke rumahnya dan yg mengangkat seorang mas mas, “Maaf, saya bisa bicara dengan Sihang ?”. “Dik, mohon maaf. Baru tadi pagi Sihang dikuburkan“ dia membalasku dengan suara datar. “Oh…”aku bengong. “Tapi saya udah janji mau latihan di sana. Kemarin kan Sihang masih sehat” lanjutku. “Maaf. Sihang tidak sakit dik, tapi mungkin ini sudah saatnya. Kalau adik mau kesini silakan datang” dengan suara ramahnya berusaha nenangin aku yg rada gak jelas. “Baik terima kasih” aku meletakkan gagang telp sambil melangkah keluar lemas, full of regret.
Aku salah satu orang yg belajar banyak dari feeling dan selalu peduli akan kata hati sendiri। Itu merupakan pengalaman yg membuat aku belajar, dan kenangan bersama Sihang adalah kenangan yg aku inginkan sedari aku kecil, bertemu dengan perintis Karate di Indonesia. Istri Sihang juga sangat baik, dia seperti nenekku di Bali.
Kalau memang masanya sudah tiba, kita hanya bisa menerima dan bersyukur sebetulnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment